Friday 30 November 2012

Lika-Liku Pindahan



Masa Studienkolleg-ku sudah habis sebelum liburan musim panas yang lalu. Kontrak kamar juga habis bulan Agustus. Sementara aku sudah merencanakan liburanku di Indonesia mulai akhir Juli sampai pertengahan September. Maka sebelum liburan ke Indonesia, aku harus keluar dari kamar itu. Sebagai seorang pelajar yang merantau, maka urusan pindah memindahkan barang ini termasuk susah.

Kamar harus terlihat sama seperti pertama kali masuk. Termasuk dapur dan kamar mandi. Maka aku harus ekstra bersih-bersih kamar, dapur dan kamar mandi. Bayangan di kepalaku saat itu, mengeluarkan semua isi kamar, dan mulai mengelap seluruh permukaan kamar. Turunlah sang koper raksasa dari persemayamannya di atas lemari.

Aku berniat memindahkan semua barang-barangku ke salah satu rumah temanku yang masih harus menjalankan Studienkolleg-nya di semester depan. Jadi sesampainya lagi di Jerman, aku berniat numpang beberapa minggu di tempat tinggalnya, sampai aku mendapat kamar baru di kota baru. Karena pengumuman Universitas di umumkan via POS pada waktu aku di Indonesia.

Langkah pertama yang kulakukan, adalah membeli peralatan bebersih. Dari plastik sampah sampai pengharum ruangan. Lalu aku mulai memasukan perintilan-perintilan di rak bukuku ke plastik besar supaya tidak berceceran di koper dan di rumah temanku. Satu koper penuh siap di pindahkan. Seseorang yang dulu spesial untukku, membantuku dengan semangat. Dia bahkan membawa kopernya ke kamarku dan memasukkan buku-buku yang cenderung berat itu.

Dengan dua koper penuh, satu tas belanja IKEA, dan beberapa tentengan, termasuk bonekaku, si ableh, kami JALAN ke rumah tujuan. Tidak begitu jauh memang, tapi sedikit terlihat lucu dengan bawaan sebanyak itu. Sesampainya di rumah temanku, barang di keluarkan dari koper, dan kami balik lagi ke kamar ku untuk membawa barang lagi.

Kegiatan pemindahan barang dengan dua koper itu kurang lebih dilakukan selama empat kali. Lalu kami, ya aku di bantu oleh si spesial masa itu, mulai menyapu, meyikat, mengepel, mengelap dan akhirnya menyemprotnya dengan pengharum ruangan. Beberapa hari kemudian, aku menemui Hausmeister (Landlord) untuk menyerahkan kunci. Selamat tinggal kamar penuh kenangan.... 

Itu baru bagian pengosongan kamar. Aku masih harus membeli kardus pindahan di semacam toko bangunan yang letaknya tidak jauh dari rumah temanku, tempat aku menaruh semua harta benda ku, tapi harus melewati jalan besar (semi jalan tol) yang tidak mempunyai trotoar. Aku membeli empat kardus ukuran sedang (yang ternyata lumayan besar) dan Lakban.

Jalan dengan membawa empat lapisan kardus di musim semi sangatlah tidak mudah. Angin kencang membuat aku oleng. Apalagi kalau ada mobil besar seperti Truck lewat. Berbagai cara memegang lapisan kardus itu sudah dicoba. Mulai di apit di tangan sampai digendong di punggung. Tapi yang paling mujarab adalah ditaruh di atas kepala.

Sesampainya di rumah temanku, aku langsung memilah-milah, barang mana masuk kardus mana. Juga mempersiapkan koper untuk ke indonesia, lusanya. Empat koper sudah siap kirim ke entah kemana. Aku meminjam pojok kamar itu untuk menaruh empat kardus dan dua boneka ku yang tak tega kumasukan ke dalam kardus (satu boneka ku memang tidak muat dalam kardus). Dan aku siap untuk liburan di Indoneisa tercinta.

Pertengahan September, aku sudah kembali lagi ke Jerman. Tanpa rumah, aku hanya bisa menggeret koperku ke rumah temanku. Segera ku baca semua surat dari universitas yang kudapat, setelah aku selesai urusan dengan Jet-Lag ku. Dan dengan rasa syukur, aku mendapatkan tempat di Marthin –Luther Universitaet Halle Wittenberg. Kota Halle yang lebih besar dari Nordhausen. Hanya dua jam perjalan naik kereta biasa dari Nordhausen.

Aku mulai mencari kamar di Halle lewat internet. Semua nomor telpon yang ada aku hubungi. Tapi responnya selalu tidak memuaskan. Entah sudah tak ada lagi kamar kosong atau terlalu mahal untukku. Sampai akhirnya, diakhir bulan, aku mendapat tawaran kamar kosong. Walau harganya tidak murah, tapi masih bisa diakalin dengan pengiritan drastis.

Jumat pagi itupun, aku berangkat ke Halle, sendirian dengan bermodalkan doa, nomor makelar rumah, dan nomor teman Indonesia di Halle. Sesampainya di Halle, aku langsung menuju alamat si calon kamar. Disana sudah menunggu dua orang mahasiswi yang sepertinya akan melihat kamar itu juga. Tapi kecewaku datang lagi ketika sang makelar bilang, bahwa harga tersebut belum termasuk listrik dan air. Aku tidak mungkin mengambil kamar itu.

Aku jalan menuju taman yang kulihat sebelum sampai di alamat tersebut. Aku duduk sendirian di temani angin musim gugur. Aku mulai mencari-cari lagi nomor telepon yang bisa kuhubungi di Internet, sambil mengunyah roti-Nutella yang kubekal dari Nordhausen. Aku juga menghubungi temanku di Halle.

Pencarian nomor telpon terhenti ketika sudah kecewa dengan beberapa nomor yang tidak merespon dengan baik. Untungnya, temanku merespon sms ku dengan baik. Akupun mengunjungi rumahnya untuk numpang Sholat. Disana aku dikenalkan oleh beberapa orang temannya yang juga sedang mencari kamar sepertiku. Bedanya, mereka memang anak Halle. Mereka menyelesaikan Studienkolleg di Halle.

Sorenya, aku pergi bersama tiga teman baruku. Dari empat orang dari kami, belum ada satu[pun yang mempunyai kamar baru. Harapanku kecil ketika mengunjungi mantan rumah salah satu temanku. Dan ternyataaaa.. Ada satu kamar kosong di rumah itu!

Ketiga temanku itu menyerahkan kamar langka ini kepadaku. Kata mereka, mereka masih bisa menumpang di rumah teman-teman mereka di Halle, sedangkan aku sendirian disini. Aku langsung mengiyakan untuk tinggal di Burgstr no.18 itu. Hari Senin aku langsung di kasih kuncinya.

Lika-liku perjuangan pindah-memindahkan barang ini, diselesaikan dengan mengirim empat kardus dari Nordhausen ke Halle.

Dengan beberapa cerita serta kejadian aku dan temanku, aku menyimpulkan. Pindahan itu harus sabar dan pasrah. Pasti ujungnya ada keajaiban tak terduga yang membuat kamu bisa mengucapkan hamdallah berkali-kali. 

No comments :

Post a Comment