Thursday 22 November 2012

Hanya Mereka



Dingin. Dengan suhu delapan derajat celcius diluar kamar, aku tetap tak mau beranjak dari kasurku yang hangat ini. Walau setelah akhirnya aku membuka tirai kamarku, ternyata sinar matahari yang terlihat hangat tidak menggugah hatiku untuk keluar dari kamar.

Aku sudah hampir tiga bulan terus menerus seperti ini. Aku tau ini salah. Jalan hidupku sedikit demi sedikit digantungkan pada diriku sendiri, yang pada akhirnya aku memutuskan untuk kuliah di benua eropa. Jerman. Negara yang modern dan antik sekaligus menurutku. Dulu, semuanya begitu indah. Indah karena setiap hari aku selalu melihat dirinya. Penuh semangat, tampan, menyejukkan, dan juga menyebalkan.

Keindahan itu hilang setelah aku kembali lagi ke Jerman setelah liburan musim panas di Indonesia. Aku kembali sendiri. Seorang yang mempunyai semangat tinggi itu, memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di negri kami tercinta, Indonesia. Dan untuk meraih kesuksesan yang seimbang, kami memutuskan hubungan kami.

Aku pikir, semua akan berjalan lancar. Tapi kekecewaan itu datang ketika kamu mengharapkan sesuatu dengan terlalu tinggi, dan kamu tidak mendapatkannya. Itulah aku sekarang. Dimana aku telah begitu banyak memberi harapan pada masa depanku bersamanya. Semangatku ada dalam senyumnya. Senyumku ada untuk tatapannya. Sehingga, aku tak bisa lagi tersenyum, semangat dan meraih masa depanku lagi.

Hidupku seakan hancur berkeping keping. Tak tau semangat itu hilang kemana. Mungkin masih ada padanya. Harapan yang hancur, kupunguti satu persatu. Tapi sebagian besar hilang, karena harapan yang kubuat bersamanya, telah hilang. Aku hanya berharap, aku bisa menukan pengganti harapan itu. Aku tak mau lagi tidur dengan dihantui mimpi-mimpi buruk yang membuat aku sesak napas.

Banyak sekali yang bilang, jangan biarkan kejadian masa lalu membuat harimu berjalan buruk dan merusak masa depanmu. Aku sangat ingin keluar dari masa kelabu ini dan mempraktekan kalimat itu, tapi jujur masa ini sangat sulit jika kau lalui sendiri. Temanku bilang, mereka akan ada untukku, tapi aku juga tau diri untuk tidak selalu ganggu hari mereka yang sedang membangun masa depannya.

Keluarga memang tempat yang paling tepat untuk berbagi kesedihan dan menemukan masalah serta menularkan kebahagiaan, tapi apa yang harus kulakukan jika kesedihan itu ada sebab tersendiri dari larangan orang tua. Benar, wejangan orangtuaku dulu sebelum aku berangkat ke Jerman adalah, serius kuliah, ga usah terlalu mikirin orang lain, dan gausah kenal laki-laki.

Mungkin ini juga yang namanya hukuman. Hukuman karena aku telah melanggar aturan hidup. Tapi apa aku tidak berhak untuk bahagia? Itulah yang jadi pertimbangan untukku. Sampai akhirnya aku mengenal lelaki itu, mengenalnya sangat dekat, dan menganggap dirinya adalah penggati seluruh keluarga aku saat aku di Jerman.

Aku salah.

Teman, sahabat, pacar. Mereka semua kelak akan pergi. Mereka semua akan mempunyai kesibukan mereka sendiri. Mereka membangun masa depannya sendiri. Kita punya mereka, karena kita ditakdirkan untuk saling membantu masa depan itu. Jika pacarmu itu memang jodohmu, maka dialah yang akan menjadi masa depanmu kelak. Jika bukan jodoh, dialah yang membantumu meraih masa depan itu.

Tapi Keluarga. Mereka hidup untukmu. Mereka yang tau keadaanmu saat senang atau sedih. Mereka yang harus pertama kali kau beritahu mengenai kabar apapun, suka atau duka. Karena mereka akan menerima dengan ikhlas apapun itu. Mereka tidak akan pernah meninggalkanmu, tidak akan pernah membencimu, ketika semua orang di dunia menghindarimu. Keluarga adalah satu-satunya tanggung jawabmu, sampai kelak kamu punya keluarga beserta tanggung jawabmu sendiri.


Hei, aku tau. Aku tau perasaan dimana kamu menganggap orang tuamu terlalu kolot. Mereka tidak mengizinkanmu pulang malam disaat teman-temanmu yang lain dengan bebasnya pulang jam berapapun dia mau, ada juga yang boleh menginap. Atau mereka tidak mengizinkanmu untuk pacaran. Padahal teman-temanmu sudah cerita tentang berbagai mantan, bergandengan tangan dimana-mana bahkan sampai ada yang sudah mengenalkan pacarnya kepada orang tuanya.

Tapi orang tuamu itulah yang tau bagaimana keadaan anak tercintanya, Mereka tau yang terbaik bagimu. Jangan sekali-kali kamu menggerutu pada mereka. Jika kamu tidak terima dengan larangan-larangan itu, bicaralah pada mereka. Diskusikan. Mereka akan mengerti dan sangat merasa dihargai, daripada kamu diam-diam melanggar aturan mereka.

Mungkin beberpa dari kalian yang membaca ini, menganggap hal itu payah. Kenapa harus diikuti jika aku punya teman yang bisa menutupi aku, bisa ikut bersekongkol untuk berbohong biar aku bisa pulang malam. Itulah tadi jawabannya diatas. Karena keluarga, orangtua, adalah tempat dimana nanti kamu bisa mengadu dan menerima apapun kamu.

Aku sempat beberapa kali melanggar. Mungkin kesalahan terbesarku adalah melanggar wejangan orangtuaku untuk tidak pacaran. Aku kena ganjarannya sendiri kawan. Aku harus mengobati rasa sakit hatiku sendiri. Karena aku terlalu malu untuk berbagi rasa sakit hati ini pada orang yang selalu menyayangi aku, orangtuaku. Mereka tau sebabnya, mereka tau karena mereka sudah berpengalaman. Mereka memang tidak hidup di zaman kita. Di zaman serba gaul sekaligus serba bobrok. Dengarkanlah mereka kawan.

Sekarang aku mau bangkit, aku mau membetulkan semua salahku pada orangtuaku, pada keluargaku. Aku akan memulai masa depanku mulai hari ini. Dengan selalu mendengarkan kata orangtuaku. Apapun itu. Salah satu yang sangat terngiang di kepalaku adalah satu kalimat sederhana dari ibuku tercinta.

"Untuk apa teman jika ia hanya membuatmu punya masalah lain, untuk apa pacar jika kau punya kasih sayang dari keluargamu, bertemanlah dengan orang yang akan membantumu meraih masa depan, carilah masa depanmu, bertanggung jawablah pada semua perbuatanmu, dan hiduplah hanya untuk keluargamu dan tuhanmu. Karena merekalah yang selalu ada untukmu, kapanpun itu."

No comments :

Post a Comment