Dingin. Dengan suhu delapan
derajat celcius diluar kamar, aku tetap tak mau beranjak dari kasurku yang
hangat ini. Walau setelah akhirnya aku membuka tirai kamarku, ternyata sinar
matahari yang terlihat hangat tidak menggugah hatiku untuk keluar dari kamar.
Aku sudah hampir tiga bulan terus
menerus seperti ini. Aku tau ini salah. Jalan hidupku sedikit demi sedikit
digantungkan pada diriku sendiri, yang pada akhirnya aku memutuskan untuk
kuliah di benua eropa. Jerman. Negara yang modern dan antik sekaligus menurutku.
Dulu, semuanya begitu indah. Indah karena setiap hari aku selalu melihat
dirinya. Penuh semangat, tampan, menyejukkan, dan juga menyebalkan.
Keindahan itu hilang setelah aku
kembali lagi ke Jerman setelah liburan musim panas di Indonesia. Aku kembali
sendiri. Seorang yang mempunyai semangat tinggi itu, memutuskan untuk
melanjutkan kuliahnya di negri kami tercinta, Indonesia. Dan untuk meraih
kesuksesan yang seimbang, kami memutuskan hubungan kami.
Aku pikir, semua akan berjalan
lancar. Tapi kekecewaan itu datang ketika kamu mengharapkan sesuatu dengan
terlalu tinggi, dan kamu tidak mendapatkannya. Itulah aku sekarang. Dimana aku
telah begitu banyak memberi harapan pada masa depanku bersamanya. Semangatku
ada dalam senyumnya. Senyumku ada untuk tatapannya. Sehingga, aku tak bisa lagi
tersenyum, semangat dan meraih masa depanku lagi.
Hidupku seakan hancur berkeping
keping. Tak tau semangat itu hilang kemana. Mungkin masih ada padanya. Harapan
yang hancur, kupunguti satu persatu. Tapi sebagian besar hilang, karena harapan
yang kubuat bersamanya, telah hilang. Aku hanya berharap, aku bisa menukan
pengganti harapan itu. Aku tak mau lagi tidur dengan dihantui mimpi-mimpi buruk
yang membuat aku sesak napas.
Banyak sekali yang bilang, jangan
biarkan kejadian masa lalu membuat harimu berjalan buruk dan merusak masa
depanmu. Aku sangat ingin keluar dari masa kelabu ini dan mempraktekan kalimat
itu, tapi jujur masa ini sangat sulit jika kau lalui sendiri. Temanku bilang,
mereka akan ada untukku, tapi aku juga tau diri untuk tidak selalu ganggu hari
mereka yang sedang membangun masa depannya.
Keluarga memang tempat yang
paling tepat untuk berbagi kesedihan dan menemukan masalah serta menularkan
kebahagiaan, tapi apa yang harus kulakukan jika kesedihan itu ada sebab
tersendiri dari larangan orang tua. Benar, wejangan orangtuaku dulu sebelum aku
berangkat ke Jerman adalah, serius kuliah, ga usah terlalu mikirin orang lain,
dan gausah kenal laki-laki.
Mungkin ini juga yang namanya
hukuman. Hukuman karena aku telah melanggar aturan hidup. Tapi apa aku tidak
berhak untuk bahagia? Itulah yang jadi pertimbangan untukku. Sampai akhirnya
aku mengenal lelaki itu, mengenalnya sangat dekat, dan menganggap dirinya
adalah penggati seluruh keluarga aku saat aku di Jerman.
Aku salah.
Teman, sahabat, pacar. Mereka
semua kelak akan pergi. Mereka semua akan mempunyai kesibukan mereka sendiri.
Mereka membangun masa depannya sendiri. Kita punya mereka, karena kita
ditakdirkan untuk saling membantu masa depan itu. Jika pacarmu itu memang
jodohmu, maka dialah yang akan menjadi masa depanmu kelak. Jika bukan jodoh,
dialah yang membantumu meraih masa depan itu.
Tapi Keluarga. Mereka hidup
untukmu. Mereka yang tau keadaanmu saat senang atau sedih. Mereka yang harus
pertama kali kau beritahu mengenai kabar apapun, suka atau duka. Karena mereka
akan menerima dengan ikhlas apapun itu. Mereka tidak akan pernah
meninggalkanmu, tidak akan pernah membencimu, ketika semua orang di dunia
menghindarimu. Keluarga adalah satu-satunya tanggung jawabmu, sampai kelak kamu
punya keluarga beserta tanggung jawabmu sendiri.
Hei, aku tau. Aku tau perasaan
dimana kamu menganggap orang tuamu terlalu kolot. Mereka tidak mengizinkanmu
pulang malam disaat teman-temanmu yang lain dengan bebasnya pulang jam berapapun
dia mau, ada juga yang boleh menginap. Atau mereka tidak mengizinkanmu untuk
pacaran. Padahal teman-temanmu sudah cerita tentang berbagai mantan,
bergandengan tangan dimana-mana bahkan sampai ada yang sudah mengenalkan
pacarnya kepada orang tuanya.
Tapi orang tuamu itulah yang tau
bagaimana keadaan anak tercintanya, Mereka tau yang terbaik bagimu. Jangan
sekali-kali kamu menggerutu pada mereka. Jika kamu tidak terima dengan
larangan-larangan itu, bicaralah pada mereka. Diskusikan. Mereka akan mengerti
dan sangat merasa dihargai, daripada kamu diam-diam melanggar aturan mereka.
Mungkin beberpa dari kalian yang
membaca ini, menganggap hal itu payah. Kenapa harus diikuti jika aku punya
teman yang bisa menutupi aku, bisa ikut bersekongkol untuk berbohong biar aku
bisa pulang malam. Itulah tadi jawabannya diatas. Karena keluarga, orangtua,
adalah tempat dimana nanti kamu bisa mengadu dan menerima apapun kamu.
Aku sempat beberapa kali
melanggar. Mungkin kesalahan terbesarku adalah melanggar wejangan orangtuaku
untuk tidak pacaran. Aku kena ganjarannya sendiri kawan. Aku harus mengobati
rasa sakit hatiku sendiri. Karena aku terlalu malu untuk berbagi rasa sakit
hati ini pada orang yang selalu menyayangi aku, orangtuaku. Mereka tau
sebabnya, mereka tau karena mereka sudah berpengalaman. Mereka memang tidak
hidup di zaman kita. Di zaman serba gaul sekaligus serba bobrok. Dengarkanlah
mereka kawan.
Sekarang aku mau bangkit, aku mau
membetulkan semua salahku pada orangtuaku, pada keluargaku. Aku akan memulai
masa depanku mulai hari ini. Dengan selalu mendengarkan kata orangtuaku. Apapun
itu. Salah satu yang sangat terngiang di kepalaku adalah satu kalimat sederhana
dari ibuku tercinta.
"Untuk apa teman jika ia hanya membuatmu punya masalah lain, untuk apa pacar jika kau punya kasih sayang dari keluargamu, bertemanlah dengan orang yang akan membantumu meraih masa depan, carilah masa depanmu, bertanggung jawablah pada semua perbuatanmu, dan hiduplah hanya untuk keluargamu dan tuhanmu. Karena merekalah yang selalu ada untukmu, kapanpun itu."
No comments :
Post a Comment