Masa
Studienkolleg-ku sudah habis sebelum liburan musim panas yang lalu. Kontrak kamar
juga habis bulan Agustus. Sementara aku sudah merencanakan liburanku di Indonesia
mulai akhir Juli sampai pertengahan September. Maka sebelum liburan ke
Indonesia, aku harus keluar dari kamar itu. Sebagai seorang pelajar yang
merantau, maka urusan pindah memindahkan barang ini termasuk susah.
Kamar harus terlihat sama seperti pertama kali
masuk. Termasuk dapur dan kamar mandi. Maka aku harus ekstra bersih-bersih
kamar, dapur dan kamar mandi. Bayangan di kepalaku saat itu, mengeluarkan semua
isi kamar, dan mulai mengelap seluruh permukaan kamar. Turunlah sang koper
raksasa dari persemayamannya di atas lemari.
Aku
berniat memindahkan semua barang-barangku ke salah satu rumah temanku yang
masih harus menjalankan Studienkolleg-nya di semester depan. Jadi sesampainya
lagi di Jerman, aku berniat numpang beberapa minggu di tempat tinggalnya,
sampai aku mendapat kamar baru di kota baru. Karena pengumuman Universitas di
umumkan via POS pada waktu aku di Indonesia.
Langkah
pertama yang kulakukan, adalah membeli peralatan bebersih. Dari plastik sampah
sampai pengharum ruangan. Lalu aku mulai memasukan perintilan-perintilan di rak
bukuku ke plastik besar supaya tidak berceceran di koper dan di rumah temanku.
Satu koper penuh siap di pindahkan. Seseorang yang dulu spesial untukku,
membantuku dengan semangat. Dia bahkan membawa kopernya ke kamarku dan
memasukkan buku-buku yang cenderung berat itu.
Dengan
dua koper penuh, satu tas belanja IKEA, dan beberapa tentengan, termasuk
bonekaku, si ableh, kami JALAN ke rumah tujuan. Tidak begitu jauh memang, tapi
sedikit terlihat lucu dengan bawaan sebanyak itu. Sesampainya di rumah temanku,
barang di keluarkan dari koper, dan kami balik lagi ke kamar ku untuk membawa
barang lagi.
Kegiatan
pemindahan barang dengan dua koper itu kurang lebih dilakukan selama empat
kali. Lalu kami, ya aku di bantu oleh si spesial masa itu, mulai menyapu,
meyikat, mengepel, mengelap dan akhirnya menyemprotnya dengan pengharum
ruangan. Beberapa hari kemudian, aku menemui Hausmeister (Landlord) untuk
menyerahkan kunci. Selamat tinggal kamar penuh kenangan....
Itu
baru bagian pengosongan kamar. Aku masih harus membeli kardus pindahan di
semacam toko bangunan yang letaknya tidak jauh dari rumah temanku, tempat aku
menaruh semua harta benda ku, tapi harus melewati jalan besar (semi jalan tol)
yang tidak mempunyai trotoar. Aku membeli empat kardus ukuran sedang (yang
ternyata lumayan besar) dan Lakban.
Jalan
dengan membawa empat lapisan kardus di musim semi sangatlah tidak mudah. Angin
kencang membuat aku oleng. Apalagi kalau ada mobil besar seperti Truck lewat.
Berbagai cara memegang lapisan kardus itu sudah dicoba. Mulai di apit di tangan
sampai digendong di punggung. Tapi yang paling mujarab adalah ditaruh di atas
kepala.
Sesampainya
di rumah temanku, aku langsung memilah-milah, barang mana masuk kardus mana.
Juga mempersiapkan koper untuk ke indonesia, lusanya. Empat koper sudah siap
kirim ke entah kemana. Aku meminjam pojok kamar itu untuk menaruh empat kardus
dan dua boneka ku yang tak tega kumasukan ke dalam kardus (satu boneka ku memang
tidak muat dalam kardus). Dan aku siap untuk liburan di Indoneisa tercinta.
Pertengahan
September, aku sudah kembali lagi ke Jerman. Tanpa rumah, aku hanya bisa
menggeret koperku ke rumah temanku. Segera ku baca semua surat dari universitas
yang kudapat, setelah aku selesai urusan dengan Jet-Lag ku. Dan dengan rasa
syukur, aku mendapatkan tempat di Marthin –Luther Universitaet Halle
Wittenberg. Kota Halle yang lebih besar dari Nordhausen. Hanya dua jam perjalan
naik kereta biasa dari Nordhausen.
Aku
mulai mencari kamar di Halle lewat internet. Semua nomor telpon yang ada aku
hubungi. Tapi responnya selalu tidak memuaskan. Entah sudah tak ada lagi kamar
kosong atau terlalu mahal untukku. Sampai akhirnya, diakhir bulan, aku mendapat
tawaran kamar kosong. Walau harganya tidak murah, tapi masih bisa diakalin
dengan pengiritan drastis.
Jumat
pagi itupun, aku berangkat ke Halle, sendirian dengan bermodalkan doa, nomor makelar
rumah, dan nomor teman Indonesia di Halle. Sesampainya di Halle, aku langsung
menuju alamat si calon kamar. Disana sudah menunggu dua orang mahasiswi yang
sepertinya akan melihat kamar itu juga. Tapi kecewaku datang lagi ketika sang
makelar bilang, bahwa harga tersebut belum termasuk listrik dan air. Aku tidak
mungkin mengambil kamar itu.
Aku
jalan menuju taman yang kulihat sebelum sampai di alamat tersebut. Aku duduk
sendirian di temani angin musim gugur. Aku mulai mencari-cari lagi nomor
telepon yang bisa kuhubungi di Internet, sambil mengunyah roti-Nutella yang
kubekal dari Nordhausen. Aku juga menghubungi temanku di Halle.
Pencarian
nomor telpon terhenti ketika sudah kecewa dengan beberapa nomor yang tidak
merespon dengan baik. Untungnya, temanku merespon sms ku dengan baik. Akupun
mengunjungi rumahnya untuk numpang Sholat. Disana aku dikenalkan oleh beberapa
orang temannya yang juga sedang mencari kamar sepertiku. Bedanya, mereka memang
anak Halle. Mereka menyelesaikan Studienkolleg di Halle.
Sorenya,
aku pergi bersama tiga teman baruku. Dari empat orang dari kami, belum ada
satu[pun yang mempunyai kamar baru. Harapanku kecil ketika mengunjungi mantan
rumah salah satu temanku. Dan ternyataaaa.. Ada satu kamar kosong di rumah itu!
Ketiga
temanku itu menyerahkan kamar langka ini kepadaku. Kata mereka, mereka masih
bisa menumpang di rumah teman-teman mereka di Halle, sedangkan aku sendirian
disini. Aku langsung mengiyakan untuk tinggal di Burgstr no.18 itu. Hari Senin
aku langsung di kasih kuncinya.
Lika-liku
perjuangan pindah-memindahkan barang ini, diselesaikan dengan mengirim empat
kardus dari Nordhausen ke Halle.
Dengan
beberapa cerita serta kejadian aku dan temanku, aku menyimpulkan. Pindahan itu
harus sabar dan pasrah. Pasti ujungnya ada keajaiban tak terduga yang membuat
kamu bisa mengucapkan hamdallah berkali-kali.