Masih memumpuk di kanan dan kiri
Kiara, buku-buku tebal yang dia pinjam dari perpustakaan kampus sebagai bahan
ujian. Piring-piring bekas makan malam dan sarapan masih tergeletak kotor di
lantai kamanya. Inilah efek ujian. Kiara seakan gak punya waktu untuk hanya
mencuci piring. Kadang Kiara merasa letih terus-terusan belajar siang malam.
Waktu menunjukan pukul sepuluh
pagi. Cuaca di luar terlihat begitu cerah. Ada sebersit senyum yang tergores di
wajah Kiara saat melihat langit yang biru. Cerah, terang, indah. Subhanallah.
Tapi senyum itu hilang seketika saat Kiara kembali melihat buku-buku yang
berserakan.
Hatinya tak tenang, besok dia
akan mengikuti ujian. Dia sudah berusaha keras belajar siang malam. Tapi
hatinya masih saja gelisah. Akhirnya Kiara memutuskan untuk mengambil wudhu dan
melaksanakan shalat sunah Dhuha.
Setelah shalat, hatinya begitu
tenang. Kiara melanjutkan ketenangannya dengan membaca Al-Quran beberapa ayat.
Senyumnya lebar ketika selesai mengaji. Hatinya tenang seakan beban terangkat.
Lalu terbesit pertanyaan di kepalanya sendiri.
Kita kan diberi hidup, untuk menyembah Allah. Buat apa kita mengejar
kesuksesan dunia? Kita harus sukses akhirat! Akhirat kan kehidupan yang kekal.
Sambil melipat alat sholat dan
kembali duduk di depan meja belajar, pikiran itu masih terngiang-ngiang di
kepala Kiara. Kiara mengambil telepon genggamnya dan menelepon Fani.
“Assalamualaikum, Fan.”
“Waalaikumsalam, Kiii.. Katanya
gak mau diganggu? Katanya lagi belajar? Kok nelpon?”
“Iya nih, Fan. Ada yang ganjel.”
“Apa? Cerita aja, Ki.”
“Fan, kita idup kan buat nyembah
Allah yah? Ujung-ujungnya kita bakal punya dua pilihan doang kan, ya? Surga
atau Neraka. Buat apa kita masih kejar-kejar ijazah sih, Fan?”
“Nah, kan. Biasanya kamu yang
pinter nasihatin orang. Sekarang bingung sendiri.”
“Emang kamu gak pernah kepikiran,
Fan?”
“Ya sekarang gini deh, kita dapet
pelajaran sabar dari mana, Ki? Salah satunya dari kita nimba ilmu juga, kan?
Kalo kita cuman belajar agamaaaaa terus, dapet teorinya terus, tapi gak
dipraktekin. Ya, nilainya cuman nilai tau doang. Ujian di sekolah aja, ada
ujian tertulis sama praktek. Itu tuh terinspirasi dari ujian Hidup, tau!”
“Iya sih, Fan. Tapi kan ujian
hidup gak jadi harus sukses, harus kaya..”
“Ya kalo misalnya nanti engga
kaya? Mau sedekah gimana? Mau ujiannya cuman sabaaaar terus? Aku sih gak mau.
Sekolah aja naik kelas. Ya kita hidup naik tingkat dong. Tadinya ujian sabar,
jadi ujian Ikhlas memberi. Dari puasa, terus nanti naik Haji. Aamiin.”
Hati Kiara sangat tersentuh
dengan kata-kata sahabatnya itu. Dia menyesali pertanyaan bodohnya tadi.
“Iya sih, Faan. Bener-bener..”
Kiara menjawab pelan.
“Eh, uebrigens! Kamu itu
bener-bener nanya, apa ngetes sih, Ki?”
“Beneran ini, Faaaannn.”
“Tumben amat begini. Udah sana,
belajar lagi. Sukses ya buat ujian besok. Aku doa terus dari sini, Kiii.. Abis
ujian, main-main ke rumahku yaaa..”
“Oke-oke. Aamiin. Makasih ya,
Fan. Assalamualaikum.”
“Sip! Waalaikumussalam.”
Setelah mengobrol dengan
sahabatnya itu, Kiara mengucap Istighfar berkali-kali. Lalu melanjutkan belajar
untuk meraih nilai terbaik. Banyak sekali ibadah dalam menuntut ilmu itu. Salah
satunya yang membuat Kiara makin semangat adalah: Bisa membahagiakan orang tua.
Itu salah satu ibadah paling oke, kan?
Belajar Jerman
Uebrigens (ubrigens) : Ngomong-ngomong